Mei 17, 2011

PERSAUDARAAN DAN PENGASUHAN, ETIKA MILENIUM BARU


         Milenium Baru datang setetes demi setetes, bukan untuk ditakuti dan ditaklukkan, bukan untuk conquering. Kosa kata komunitas manusia sudah terlanjur terpenjara dan sudah terlalu lama dihegemoni oleh kegiatan merebut dan menaklukkan. Olehnya, kesulitan pertama yang dihadapi oleh manusia dalam merumuskan etika milenium baru, justru pada kesulitan semantik. Sedemikian sulitnya, seorang mahaguru emeritus bernama Charles Birch mengandaikannya sebagai kesulitan dalam “menyimpan anggur baru dalam wadah anggur tua”. Manusia memerlukan wadah baru untuk menerima etika baru. Olehnya, manusia memerlukan kosa kata baru untuk merumuskan paradigma baru, mengganti paradigma conquest menjadi paradigma nurturance, menukar etika penguasaan (the ethics of dominion) menjadi etika pengasuhan (the ethics of  stewardship).

            Sebagai suatu fenomena milenium baru, peralihan dari etika penguasaan ke etika pengasuhan telah digarisbawahi oleh pakar masa depan John Naisbitt dalam buku Paradoks Global. Bagi Naisbitt, akan muncul etika yang bersifat global dalam abad ke-21, yang terdorong oleh globalisasi pasar dan perkembangan teknologi informasi. Keizo Yamaji, seorang eksekutif Canon, malah menganggap milenium baru sebagai era “megamoralitas”. Bagi Yamaji, etika milenium baru akan melengkapi nilai-nilai yang diperjuangkan oleh revolusi Perancis. Jika etika kapitalisme mengutamakan kebebasan (liberti), dan jika etika sosialisme memuliakan kesamaan (egaliti), maka etika milenium baru akan melengkapinya dengan “fraterniti” atau “persaudaraan”. Inilah semacam jalan ketiga yang oleh tradisi Jepang dirumuskan sebagai kyosei, dan oleh Indonesia dirumuskan sebagai gotong royong, rumusan yang sesungguhnya telah tersedia pada awal-awal kemerdekaan.

            Apakah perempuan ikut dalam brotherhood, dalam kyosei, dan dalam gotong royong? Di sinilah letak kesulitan semantiknya. Bahkan, etikawan lingkungan yang moderat seperti Robin Attfied menganggap bahwa “etika persaudaraan” itu sebagai etika yang antroposentris, etika yang mengunggulkan kepentingan manusia dan melihat alam hanya sebagai entitas yang bernilai instrumental. Oleh karenanya, Attfied mendukung etika stewardship, yang mungkin lebih baik kalau diterjemahkan sebagai etika “pengasuhan”.

            Semangat etika pengasuhan adalah altruisme dan bukan egoisme, semangat mendahulukan kepentingan primer pihak lain dan bukan kebutuhan sekunder diri sendiri. Etika pengasuhan memandang bahwa manusia tidak berada di puncak hirarki alam. Alam dititipkan untuk dirawat dan diasuh, sehingga dapat diwariskan ke generasi berikut, dalam keadaan lebih baik atau sekurang-kurangnya tidak lebih buruk.

            Para etikawan perempuan mengartikulasikan kebajikan pengasuhan itu ke dalam apa yang disebut etika kepedulian (the ethics of care). Judith White menguraikan bahwa etika kepedulian itu pun mula-mula bertumbuh dalam konteks hubungan domestik atau hubungan antarmanusia dalam hidup berumah tangga. Masih menurut Judith White, etika kepedulian itu kini merambah ke wilayah etika terapan lain, utamanya etika bisnis dan etika lingkungan.

            Dalam artikelnya, “Feminist Ethics and Workplace Values” (1992), MC Raugust --- seorang etikawan perempuan --- mengajukan tujuh karakteristik etika kepedulian itu;

            Pertama, prioritas utama dari etika kepedulian ialah hubungan kepedulian (caring relationship), hubungan silih asih, silih asah, silih asuh dengan orang lain, bukan usaha mengepalkan tinju untuk merebut dan mempertahankan hak-hak individu.

            Kedua, hasil terpenting dari perilaku etis ialah kenyataan bahwa seorang tertentu dalam situasinya yang konkret dapat menerima dan memberikan kepedulian itu.

            Ketiga, yang digarisbawahi ialah interdependensi dan bukan individualisme. Kenyataan bahwa kita harus saling memberi dan menerima harus lebih diutamakan dibandingkan hak seseorang untuk menerima kebaikan orang lain.

            Keempat, fokusnya ialah “orang lain” yang konkret, bukan “orang lain” dalam pernyataan abstrak, yakni orang lain yang tidak berpribadi dan tidak berwajah.

            Keenam, hubungan antarmanusia dilihat sebagai proses sirkuler bukan linier, sebagai proses langgeng bukannya berjangka pendek, sebagai proses mengamini dan bukannya mengubah.

            Ketujuh, kebajikan (virtue) dijunjung tinggi lebih dari kewajiban untuk berlaku adil (justice). Dalam etika kepedulian, eksploitasi dan tindakan merugikan orang lain wajib dihindari.

            Judith White sendiri menambahkan, bahwa pada etika kepedulian itu, perasaan sama sahnya dengan pikiran, intuisi berharga sama dengan intelektualitas. Tetapi, perasaan di sini bukanlah perasaan yang berhenti menjadi melankoli, melainkan perasaan peduli yang diikuti dengan tindakan peduli. Seorang ibu yang menyayangi anaknya akan mengekspresikan rasa sayangnya ke dalam tindakan-tindakan. Dan tindakan-tindakan peduli itu memerlukan kompetensi. Etika pengasuhan atau etika kepedulian tanpa dibarengi kompetensi malah dapat menimbulkan kerugian (do harm) pada orang lain yang dipedulikan dan diasuh. Tanpa pengasuhan dan tanpa kompetensi, manusia akan terjerumus ke dalam “perang semua melawan semua” (the war of every man against every man).



Disari ulang dari tulisan Alois A. Nugroho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

biar lebih baik lagi kasih coment :)

 
thank you for visiting my blog.